Hukum Perjanjian Lama memerintahkan orang-orang Israel untuk tidak kawin campur dengan ras-ras lain (Ulangan 7:3-4). Alasannya adalah bahwa kaum Israel akan dibawa meninggalkan Tuhan jikalau mereka kawin campur dengan penyembah-penyembah berhala, orang-orang kafir dan orang-orang yang tidak menyembah Tuhan. Prinsip yang sama digariskan dalam Perjanjian Baru, namun dalam tingkat yang jauh berbeda. "Janganlah kamu merupakan pasangan yang tidak seimbang dengan orang-orang yang tak percaya. Sebab persamaan apakah terdapat antara kebenaran dan kedurhakaan? Atau bagaimanakah terang dapat bersatu dengan gelap?" (2 Korintus 6:14). Sama seperti orang-orang Israel (orang-orang yang percaya kepada Allah yang Esa) diperintahkan untuk tidak menikahi orang-orang yang tidak percaya, demikian pula orang-orang Kristen (orang-orang yang percaya kepada Allah yang Esa) diperintahkan untuk tidak menikahi orang-orang yang tidak percaya. Menjawab pertanyaan ini secara khusus, tidak, Alkitab tidak mengatakan bahwa pernikahan antar-ras adalah salah.
Orang harus dinilai berdasarkan karakternya dan bukan warna kulitnya. Setiap kita perlu berhati-hati jangan sampai kita memilih kasih atau berprasangka dan bersikap rasialis terhadap orang lain (Yakobus 2:1-10, perhatikan khususnya ayat 1 dan 9). Standar dari pria dan wanita Kristen dalam memilih pasangan adalah mencari tahu apakah orang-orang yang mereka tertarik adalah orang Kristen atau bukan, seseorang yang sudah lahir kembali oleh iman dalam Kristus Yesus (Yohanes 3:3-5). Iman dalam Kristus, dan bukan warna kulit, adalah standar Alkitab dalam memilih pasangan hidup. Pernikahan antar-ras bukanlah soal benar atau salah, tapi soal hikmat, kebijaksanaan dan doa.
Satu-satunya alasan pernikahan antar ras perlu dipertimbangkan dengan hati-hati adalah karena kesulitan yang mungkin dialami oleh pasangan tsb karena orang-orang lain sulit untuk menerima mereka. Banyak pasangan seperti itu yang mengalami diskriminasi dan ejekan, kadang-kadang bahkan dari keluarga mereka sendiri. Beberapa pasangan pernikahan antar-ras mengalami kesulitan karena warna kulit anak-anak mereka berbeda dari orangtua atau saudara-saudara mereka. Pasangan antar-ras perlu mempertimbangkan hal ini dan mempersiapkan diri kalau mereka memutuskan untuk menikah. Sekali lagi, satu-satunya larangan dalam Alkitab terhadap orang Kristen adalah apakah pihak yang satu adalah anggota dari tubuh Kristus atau bukan.
Sama dengan berbagai percabulan seks sebelum menikah berulangkali dicela dalam Alkitab (Kisah Rasul 15:20; 1 Korintus 5:1; 6:13; 18; 7:2; 10:8, 2 Korintus 12:21; Galatia 5:19; Efesus 5:3; Kolose 3:5; 1 Tesalonika 4:3; Yudas 7). Alkitab mendorong untuk tidak berhubungan seks sebelum menikah. Seks sebelum menikah sama salahnya dengan perzinahan dan bentuk-bentuk percabulan lainnya karena semua itu bersangkut paut dengan berhubungans seks bukan dengan orang yang dinikahi. Seks antara suami dan istri adalah satu-satunya bentuk hubungan seks yang Tuhan restui (Ibrani 13:4).
Seks sebelum menikah menjadi begitu umum karena berbagai sebab. Terlalu sering kita memusatkan perhatian pada aspek "rekreasi" dari seks tanpa memperhatikan aspek "re-kreasi" dari seks. Benar, seks itu menyenangkan. Allah mendesain seks untuk itu. Dia menghendaki laki-laki dan perempuan menikmati aktifitas seksual (dalam lingkup pernikahan). Namun demikian, tujuan utama dari seks bukanlah kesenangan, namun reproduksi. Allah melarang hubungan seks sebelum pernikahan bukan dengan maksud supaya kita tidak mendapat kesenangan, tapi untuk melindungi kita dari kehamilan yang tidak dikehendaki dan anak-anak yang lahir pada orangtua yang menolak mereka atau tidak siap untuk punya anak. Bayang, betapa dunia kita akan menjadi lebih baik jikalau model seks dari Allah diikuti: penyakit kelamin akan berkurang, ibu yang tidak menikah akan berkurang, aborsi akan berkurang, dll. Tidak berhubungan seks sebelum menikah adalah satu-satunya jalan Tuhan. Abstinensi (tidak berhubungan seks sebelum menikah) menyelamatkan nyawa, melindungi para bayi, memberi hubungan seks nilai yang sebenarnya, dan yang paling penting: menghormati Tuhan.
2 Korintus 6:14 menyatakan, " Janganlah kamu merupakan pasangan yang tidak seimbang dengan orang-orang yang tak percaya. Sebab persamaan apakah terdapat antara kebenaran dan kedurhakaan? Atau bagaimanakah terang dapat bersatu dengan gelap?" Walaupun ayat ini tidak secara khusus mencantumkan pernikahan, implikasinya bagi pernikahan sangatlah jelas. Selanjutnya bagian Alkitab ini mengatakan, "Persamaan apakah yang terdapat antara Kristus dan Belial? Apakah bagian bersama orang-orang percaya dengan orang-orang tak percaya? Apakah hubungan bait Allah dengan berhala? Karena kita adalah bait dari Allah yang hidup menurut firman Allah ini: "Aku akan diam bersama-sama dengan mereka dan hidup di tengah-tengah mereka, dan Aku akan menjadi Allah mereka, dan mereka akan menjadi umat-Ku. Sebab itu: Keluarlah kamu dari antara mereka, dan pisahkanlah dirimu dari mereka, firman Tuhan, dan janganlah menjamah apa yang najis, maka Aku akan menerima kamu" (2 Korintus 6:15-17).
Alkitab selanjutnya mengatakan, "Janganlah kamu sesat: Pergaulan yang buruk merusakkan kebiasaan yang baik" (1 Korintus 15:33). Hubungan yang dekat dengan orang yang tidak percaya dapat dengan cepat dan mudah berubah menjadi halangan untuk kita berjalan dengan Kristus. Kita dipanggil untuk menginjiliyang sesat, bukan untuk menjadi intim dengan mereka. Tidak ada salahnya membangun persahabatan yang berkualitas dengan orang-orang yang tidak percaya " namun hanya boleh sejauh itu. Jikalau Anda berpacaran dengan orang yang tidak percaya, secara jujur, apa yang menjadi prioritas Anda? Hubungan yang romantis atau memenangkan jiwa mereka bagi Kristus? Jikalau Anda menikahi orang yang tidak percaya, bagaimana kalian berdua dapat membangun kedekatan rohani dalam pernikahan Anda? Bagaimana pernikahan yang berkualitas dapat dibangun jikalau Anda berbeda pendapat dalam hal yang paling krusial di dunia ini " Tuhan Yesus Kristus?
Meskipun kata "pacaran" tidak ditemukan dalam Alkitab, kita diberikan beberapa prinsip yang kita perlu taati sebelum memasuki jenjang pernikahan. Hal pertama yang harus disadari adalah bahwa kita perlu memisahkan diri dari pandangan dunia mengenai pacaran karena cara Tuhan berbeda dengan cara dunia (2 Petrus 2:20). (Oleh dunia) kita disuruh untuk berpacaran sebanyak yang kita inginkan, dengan sebanyak-banyaknya pacar yang kita bisa dapat. Sebaliknya kita perlu menemukan orang seperti apa yang kita inginkan sebelum betul-betul masuk dalam hubungan pacaran. Kita perlu mengetahui apakah orang yang bersangkutan sudah lahir baru kembali (Yohanes 3:3-8), dan apakah mereka memiliki keinginan yang sama untuk menjadi serupa dengan Kristus (Filipi 2:5). Mengapa hal ini penting dalam mencari pasangan hidup? Orang Kristen perlu berhati-hati jangan sampai menikahi orang yang belum percaya (2 Korintus 6:14-15) karena hal ini dapat melemahkan hubungan Anda dengan Kristus dan menurunkan standar dan moral Anda.
Ketika seseorang masuk dalam hubungan yang serius dengan orang lain, penting untuk mengingat untuk mengasihi Tuhan lebih dari segalanya (Matius 10:37). Mengatakan atau menganggap bahwa orang lain itu adalah "segalanya" bagi Anda atau yang paling penting dalam hidup Anda adalah penyembahan berhala, dan merupakan dosa (Galatia 5:20; Kolose 3:5). Juga jangan menajiskan tubuh Anda dengan melakukan hubungan seks pra-nikah (1 Korintus 6:9, 13, 2 Timotius 2:22). Percabulan bukan saja dosa melawan Tuhan namun juga terhadap diri sendiri (1 Korintus 6:18). Adalah penting untuk mengasihi dan menghormati orang lain sebagaimana Anda mengasihi diri sendiri (Roma 12:9-10) dan hal ini berlaku pula untuk pacaran dan pernikahan. Mengikuti prinsip-prinsip ini adalah cara terbaik untuk memiliki dasar yang kokoh dalam pernikahan. Ini adalah salah satu keputusan yang paling penting yang Anda ambil karena ketika dua orang menikah, mereka menjadi satu daging dan tidak dapat dipisahkan lagi (Kejadian 2:24; Matius 19:5).
Alkitab tidak mengindikasikan apakah ada teman hidup tertentu yang telah dipilih untuk setiap orang. Adalah tidak mungkin bagi kita untuk memahami jalan Tuhan. Kita tahu bahwa Dia mengenal kita bahkan sebelum kita diciptakan. "Sebelum Aku membentuk engkau dalam rahim ibumu, Aku telah mengenal engkau, dan sebelum engkau keluar dari kandungan, Aku telah menguduskan engkau, Aku telah menetapkan engkau menjadi nabi bagi bangsa-bangsa" (Yeremia 1:5). Dia mengetahui pilihan apa yang akan kita buat, dan tahu apakah kita akan berpaling kepadaNya atau tidak (Roma 8:29-30). Dia tahu jumlah rambut di kepala kita (Matius 10:30). Jika kita memberi diri kita kepada Tuhan dan mencari pimpinanNya, Dia berjanji akan mengarahkan jalan kita. "Percayalah kepada TUHAN dengan segenap hatimu, dan janganlah bersandar kepada pengertianmu sendiri. Akuilah Dia dalam segala lakumu, maka Ia akan meluruskan jalanmu" (Amsal 3:5-6).
Orang sering kali membuat pilihan yang bertentangan dengan kehendak Tuhan " baik orang Kristen maupun non-Kristen sama saja dalam hal ini. Karena itu jikalau Tuhan hanya merencanakan satu orang untuk menjadi teman hidup kita, dan kita kehilangan itu, maka rencana hidup kita akan berantakan. Namun Alkitab mengatakan bahwa rencana Allah yang paling "bodoh" sekalipun adalah lebih bijak dari rencana paling bijak yang dapat manusia rencanakan (1 Korintus 1:25), yang berarti rencana Tuhan tidak dapat digagalkan. Ketika kita memutuskan untuk mengikuti Tuhan, saya percaya Tuhan akan menempatkan orang yang tepat di jalan kita dan situasi yang tepat yang akan membentuk kita menjadi seperti yang Dia inginkan. Bahkan jika orang Kristen menikahi non-Kristenpun, kuasa Tuhan dapat melakukan mujizat dan mengubah hidup orang itu. Kita sebagai manusia dapat menjerumuskan diri ke dalam situasi yang paling runyam, namun Tuhan dalam hikmat dan anugrahNya yang tak terbatas dapat mengangkat kita keluar jika kita mencari Dia.
Walaupun pada zaman sekarang hampir semua orang menikah, bukanlah kehendak Tuhan bagi setiap orang untuk menikah. Paulus mengatakan, "Namun demikian alangkah baiknya, kalau semua orang seperti aku; tetapi setiap orang menerima dari Allah karunianya yang khas, yang seorang karunia ini, yang lain karunia itu" (1 Korintus 7:7). Ini bukan soal pilihan yang satu lebih baik dari yang lainnya. Jelas bahwa bukanlah kehendak Tuhan untuk setiap orang tetap melajang karena itu berarti populasi di bumi ini akan habis. Dan Tuhan juga tidak mau setiap orang menikah karena ada orang-orang yang lebih baik tetap melajang. Kita semua melayani Tuhan dengan cara-cara yang berbeda. Dengan cara apapun, Tuhan mau menjadi pusat dari kehidupan kita. Jikalau kita mencari petunjukNya, Dia akan memimpin kita pada jalan yang Dia mau kita jalani dan memberkati hidup kita untuk melakukan pekerjaanNya.
Cara Alkitab dalam mempersiapkan pernikahan adalah sama dengan apa yang dilakukan seseorang dalam mempersiapkan apa saja dalam hidup. Prinsip ini harus mewarnai semua aspek kehidupan kita sebagai orang-orang percaya yang sudah lahir kembali. Prinsip itu adalah "" Kasihilah Tuhan, Allahmu, dengan segenap hatimu dan dengan segenap jiwamu dan dengan segenap akal budimu" (Matius 22:37).
Ini bukanlah sebuah perintah yang sembarang diberikan. Ini adalah pusat dari kehidupan kita selaku orang-orang percaya. Ini adalah merupakan usaha untuk memusatkan perhatian kepada Allah dan FirmanNya dengan segenap hati sehingga segenap jiwa dan pikiran kita dipenuhi dengan hal-hal yang akan menyenangkan Allah terlebih dahulu. Relasi yang kita miliki dengan Allah melalui Tuhan Yesus Kristus adalah faktor yang menempatkan semua hubungan yang lain dalam perspektif yang sepantasnya. Hubungan pernikahan adalah berdasarkan contoh hubungan Kristus dengan Gereja (Efesus 5:22-33). Setiap aspek kehidupan kita diatur oleh komitmen kita sebagai orang percaya untuk hidup dan berjalan menurut "demikianlah Firman Tuhan." Ketaatan kita kepada Tuhan dan FirmanNya memberi kita perlengkapan yang dibutuhkan untuk memenuhi peranan yang Tuhan berikan kepada kita dalam hidup pernikahan dan juga dalam dunia ini. Dan fungsi dari setiap orang percaya yang sudah lahir kembali adalah memuliakan Tuhan dalam segala hal (1 Korintus 10:31).
Jadi jawaban saya kepada Anda adalah, untuk mempersiapkan pernikahan Anda, hiduplah dengan cara yang layak sesuai dengan panggilan Kristus Yesus untuk dekat dengan Allah melalui FirmanNya. Pusatkan perhatian pada ketaatan dalam segala hal. Tidak ada ABC yang gampang untuk hidup dalam ketaatan kepada Tuhan. Meninggalkan pandangan dunia dan memilih pandangan Tuhan adalah keputusan yang harus dilakukan setiap hari. Hidup bagi Kristus adalah setiap hari menundukkan diri sendiri secara rendah hati pada satu-satunya Jalan, satu-satunya Kebenaran dan satu-satunya Hidup dan ini dilakukan setiap hari, setiap peristiwa. Inilah yang perlu dilakukan setiap orang percaya untuk hadiah terbesar yang kita sebut sebagai hidup.
Seseorang yang dewasa secara rohani dan hidup bersama Tuhan lebih siap untuk menghadapi pernikahan dibanding dengan siapapun. Pernikahan membutuhkan komitmen, semangat, kerendahan hati, cinta dan respek. Ciri-ciri ini nyata dengan jelas pada orang yang memiliki hubungan yang dekat dengan Allah. Saat Anda mempersiapkan diri untuk pernikahan, pusatkan perhatian pada Allah dan izinkan Dia membentuk Anda menjadi laki-laki dan perempuan yang direncanakanNya. Jikalau Anda menundukkan diri kepadaNya, Tuhan akan mempersiapkan Anda untuk pernikahan ketika hari yang indah itu tiba.
Efesus 5:3 memberitahu kita, "Tetapi percabulan dan rupa-rupa kecemaran " disebut sajapun jangan di antara kamu, sebagaimana sepatutnya bagi orang-orang kudus." Hal-hal yang sekedar "mengesankan" kecabulanpun tidak pantas bagi seorang Kristen. Alkitab tidak memberikan "daftar" dari apa yang "memberi kesan" atau secara khusus memberitahu kita aktifitas-aktifitas fisik seperti apa yang dapat dilakukan oleh pasangan sebelum mereka menikah. Namun demikian, sekalipun Alkitab tidak secara khusus menyinggung isu ini, hal ini tidak berarti Tuhan memperbolehkan aktifitas "pra-seksual" sebelum menikah. Pada hakekatnya, "permainan pendahuluan" didesain untuk "mempersiapkan" hubungan seks. Karena itu, secara logis, "permainan pendahuluan" seharusnya hanya dilakukan oleh pasangan yang sudah menikah. Hal-hal yang dapat dianggap sebagai "permainan pendahuluan" harus dihindari sampai saat pernikahan. (Di sini tidak perlu kita bicara secara mendetil).
Aktifitas seksual apapun seharusnya dibatasi hanya untuk pasangan yang sudah menikah. Apa yang dapat dilakukan oleh pasangan yang belum menikah? Pasangan yang belum menikah sepatutnya menghindari aktifitas apapun yang dapat menggoda mereka untuk melakukan hubungan seks, yang memberi kesan cabul, atau yang dapat dianggap sebagai "permainan pendahuluan." Secara pribadi saya dengan tegas menasehati pasangan yang belum menikah untuk tidak lebih dari berpegangan tangan, berpelukan dan cium kecil sebelum menikah. Makin banyak yang pasangan yang sudah menikah dapat nikmati bersama secara ekslusif akan membuat hubungan seks mereka lebih istimewa.
Jawaban dari pertanyaan ini kurang lebih tergantung pada apa yang dimaksud dengan "hidup bersama." Jikalau yang dimaksudkan adalah berhubungan seks, maka jelas itu adalah dosa. Seks pra-nikah berulang kali ditegur di dalam Alkitab bersama dengan bentuk-bentuk percabulan lainnya (Kisah Rasul 15:20; Roma 1:29; 1 Korintus 5:1; 6:13, 18; 7:2; 10:8; 2 Korintus 12:21; Galatia 5:19; Efesus 5:3; Kolose 3:5; 1 Tesalonika 4:3; Yudas 7). Alkitab mempromosikan abstinensi secara penuh di luar (dan sebelum) pernikahan. Seks sebelum menikah sama saja salahnya dengan perzinahan dan jenis-jenis percabulan lainnya karena semuanya bersangkut paut dengan berhubungan seks dengan orang yang bukan pasangan Anda.
Jikalau "hidup bersama" adalah dalam pengertian tinggal dalam rumah yang sama, ini mungkin merupakan hal yang berbeda. Pada dasarnya tidak ada salahnya bagi laki-laki dan perempuan untuk berdiam di rumah yang sama " kalau tidak ada hal-hal yang tidak pantas yang terjadi. Namun demikian, tetap ada masalah soal kesan percabulan (Efesus 5:3) dan cobaan besar untuk melakukan kecabulan. Alkitab mengajarkan kita untuk menghindari kecabulan dan bukannya membiarkan diri terus menerus dicobai untuk melakukan kecabulan (1 Korintus 6:18). Dan juga ada masalah soal kesan orang. Pasangan yang tinggal bersama dianggap sudah tidur bersama, hal ini adalah yang biasanya terjadi. Sekalipun tinggal bersama di satu rumah pada dirinya sendiri bukan merupakan dosa, hal itu memberi kesan dosa. Alkitab memberitahu kita untuk menghindari memberi kesan yang tidak baik (Efesus 5:3), menjauhkan diri dari kecabulan, dan jangan menyebabkan seseorang tersandung atau tersinggung. Karena itu, tinggal bersama sebelum menikah bukanlah hal yang menghormati Tuhan.
Natur kemanusiaan kita memberitahu kita bahwa cinta tidak lebih dari emosi. Kita mengambil keputusan berdasarkan emosi kita, bahwa menikah karena kita merasa "jatuh cinta." Inilah alasan mengapa kurang lebih setengah dari pernikahan pertama berakhir dengan perceraian. Alkitab mengajar kita bahwa cinta sejati bukanlah sekedar emosi yang datang dan pergi tapi adalah sebuah keputusan. Kita bukan hanya mencintai orang yang mencintai kita, kita bahkan perlu mencintai mereka yang membenci kita, sama seperti Kristus mengasihi mereka yang tidak dapat dikasihi (Lukas 6:35). "Kasih itu sabar; kasih itu murah hati; ia tidak cemburu. Ia tidak memegahkan diri dan tidak sombong. Ia tidak melakukan yang tidak sopan dan tidak mencari keuntungan diri sendiri. Ia tidak pemarah dan tidak menyimpan kesalahan orang lain. Ia tidak bersukacita karena ketidakadilan, tetapi karena kebenaran. Ia menutupi segala sesuatu, percaya segala sesuatu, mengharapkan segala sesuatu, sabar menanggung segala sesuatu" (1 Korintus 13:4-7).
Adalah sangat mudah untuk jatuh cinta dengan seseorang namun ada beberapa pertanyaan yang perlu ditanyakan kepada diri sendiri sebelum memutuskan bahwa "radar cinta" Anda menuntun Anda ke arah yang benar. Pertama apakah orang tsb adalah orang Kristen, artinya apakah mereka telah memberi hidup mereka kepada Kristus dan percaya kepadaNya untuk keselamatan mereka? Juga perlu dipertanyakan, jika seseorang mau memberi hati dan perasaan mereka pada satu orang, apakah mereka bersedia untuk menempatkan orang tsb di atas orang-orang lain dan menempatkan hubungan mereka, setelah menikah, di atas segala-galanya, kecuali dalam hubungannya dengan Tuhan? Alkitab mengatakan ketika dua orang menikah, mereka menjadi satu daging (Kejadian 2:24; Matius 19:5).
Hal lain yang perlu dipertimbangkan adalah apakah orang tsb adalah calon pasangan hidup yang baik? Apakah mereka telah mendahulukan Tuhan di dalam hidup mereka? Apakah mereka bersedia menggunakan waktu dan tenaga mereka untuk membantu membangun hubungan pernikahan yang bertahan seumur hidup? Apakah orang itu adalah seseorang yang Anda mau nikahi? Tidak ada tongkat pengukur untuk menentukan kapan kita jatuh cinta pada seseorang, namun penting untuk membedakan apakah kita sekedar mengikuti emosi kita atau mengikuti kehendak Tuhan untuk hidup kita.
Hubungan secara pribadi yang paling penting yang seorang laki-laki dapat miliki, di luar dari hubungannya dengan Allah secara rohani melalui Tuhan Yesus Kristus, adalah hubungannya dengan istrinya. Dalam proses mencari seorang istri, prinsip yang paling tinggi adalah mencari seorang perempuan yang secara pribadi beriman di dalam Yesus Kristus. Rasul Paulus memberitahu kita untuk tidak menjadi "tidak seimbang" dengan orang-orang yang tidak percaya (2 Korintus 6:14). Kecuali seorang laki-laki dan perempuan ada dalam persetujuan penuh pada pokok yang paling penting ini, pernikahan yang saleh dan memuaskan tidak akan terjadi.
Tetapi, menikahi seorang yang percaya tidak menjamin pengalaman penuh dari menjadi "seimbang." Kenyataan bahwa seorang perempuan adalah Kristen tidak berarti dia pasti adalah seorang pasangan yang baik secara rohani untuk Anda. Apakah dia memiliki tujuan rohani yang sama dengan Anda? Apakah dia mempunyai semangat yang sama untuk Allah? Kualitas dari seorang istri yang berpotensi adalah sangat penting. Terlalu banyak laki-laki yang menikah hanya karena emosi atau daya tarik fisik saja, dan itu bisa jadi resep untuk kegagalan.
Apa kualitas-kualitas saleh seorang laki-laki dapat cari pada seorang istri? Alkitab memberi kita beberapa prinsip yang kita dapat gunakan untuk menciptakan sebuah gambar dari perempuan yang saleh. Dia harus pertama-tama berserah dalam hubungan rohaninya secara pribadi dengan Tuhan . Rasul Paulus memberitahu istri bahwa dia harus tunduk kepada suaminya sebagaimana kepada Tuhan (Efesus 5:22-24). Jika seorang perempuan tidak berserah kepada Tuhan, dia tidak akan melihat kepatuhan kepada suaminya sebagai hal yang perlu untuk kesejahteraan rohaninya sendiri. Kita tidak bisa memenuhi pengharapan dari siapapun juga tanpa pertama-tama mengizinkan Allah untuk mengisi kita dengan diri-Nya. Seorang perempuan yang dengan Allah sebagai pusat kehidupannya adalah calon istri yang baik.
Paulus juga memberi beberapa ciri karakter seorang perempuan dalam petunjuk-petunjuknya tentang pemimpin di dalam gereja. "Demikian pula isteri-isteri hendaklah orang terhormat, jangan pemfitnah, hendaklah dapat menahan diri dan dapat dipercayai dalam segala hal" ( 1 Timotius 3:11). Dengan kata lain, ini adalah perempuan yang tidak angkuh, tahu kapan untuk bicara dan kapan untuk diam, dan mampu menempatkan diri di samping suaminya dengan keyakinan diri. Dia adalah seorang perempuan yang fokus utamanya adalah hubungannya dengan Tuhan dan pertumbuhan kerohaniannya sendiri.
Tanggung jawab pernikahan adalah lebih besar untuk suami, karena perintah Allah menempatkan dia sebagai kepala dari istri dan keluarganya. Kepemimpinan ini adalah mengikuti contoh hubungan antara Kristus dan gereja (Efesus 5:25-33). Itu adalah hubungan berdasarkan kasih . Sama seperti Kristus mengasihi gereja dan memberikan Diri-Nya untuk itu, demikian pula suami harus mengasihi istrinya seperti dia mengasihi tubuhnya sendiri. Karena itu, hubungan rohani secara pribadi seorang laki-laki dengan Tuhan adalah kepentingan yang tertinggi untuk keberhasilan dari pernikahannya dan keluarganya. Kerelaan berkorban dan kekuatan memilih untuk menjadi seorang hamba demi kebaikan dari pernikahan adalah lambang dari kedewasaan kerohanian seorang yang menghormati Allah. Memilih seorang istri dengan bijaksana berdasarkan kualitas-kualitas alkitabiah adalah penting, tetapi sama pentingnya adalah pertumbuhan kerohanian yang terus-menerus dari seorang laki-laki dan penyerahannya kepada kehendak Allah dalam hidupnya. Seorang laki-laki yang berusaha untuk menjadi seorang yang Allah inginkan bisa membantu istrinya menjadi perempuan yang Allah inginkan dan akan bisa membangun pernikahan ke dalam kesatuan yang Allah, dia, dan istrinya inginkan.
Ketika seorang perempuan Kristen mencari seorang suami, dia seharusnya mencari seorang laki-laki yang "berkenan di hati Allah sendiri" (Kis 13:22). Hubungan yang paling penting yang setiap kita miliki adalah hubungan kita secara pribadi dengan Tuhan Yesus Kristus. Hubungan itu lebih penting dari semua yang lain. Jika hubungan vertikal kita dengan Tuhan adalah sebagaimana seharusnya, maka hubungan horisontal kita akan mencerminkan realita itu. Karena itu, seorang suami yang berpotensi seharusnya adalah seorang pria yang fokusnya pada berjalan dalam ketaatan kepada Firman Allah dan yang berusaha agar hidupnya bisa membawa kemuliaan bagi Allah (1 Korintus 10:31).
Apa kualitas-kualitas yang lain yang harus dicari? Rasul Paulus memberi kita kualitas-kualitas yang harus kita cari dalam diri seorang suami dalam 1 Timotius pasal 3. Bagian ini adalah kualifikasi-kualifikasi untuk seorang pemimpin dalam gereja. Namun demikian, kualitas-kualitas ini harus mewarnai kehidupan dari siapa saja yang hidup "menyenangkan Allah." Kualitas-kualitas ini dapat diuraikan dengan kata-kata lain sebagai berikut: seorang pria harus sabar dan terkontrol dalam kelakuannya, tidak dipenuhi dengan keangkuhan tetapi oleh sikap tenang, mampu menguasai emosinya, bermurah hati kepada orang lain, mampu mengajar dengan sabar, tidak mabuk atau memboroskan talenta Allah, tidak cenderung kepada kekerasan, tidak berlebihan dalam hal-hal kecil dalam hidupnya tetapi fokus kepada Allah, tidak mudah marah atau terlalu sensitif sehingga dia gampang tersinggung, dan bersyukur untuk apa yang Allah berikan, bukannya iri hati dengan talenta-talenta yang orang lain terima.
Kualitas-kualitas di atas menggambarkan seorang laki-laki yang secara aktif giat dalam proses untuk menjadi seorang percaya yang dewasa. Itu adalah tipe seorang laki-laki yang harus dicari oleh seorang perempuan sebagai seorang suami yang berpotensi. Ya, menarik secara fisik, minat yang sama, saling melengkapi kelebihan dan kekurangan, dan keinginan akan anak adalah hal-hal yang perlu dipertimbangkan. Namun perkara-perkara ini harus menjadi sekunder dari kualitas-kualitas rohani yang dicari seorang perempuan dalam diri seorang laki-laki. Seorang laki-laki yang Anda dapat percaya, hormati, dan ikuti dalam perjalanan kesalehan adalah yang jauh lebih bernilai daripada seorang laki-laki yang tampan, terkenal, berkuasa, atau mempunyai uang.
Akhirnya, ketika "mencari" seorang suami, kita harus berserah kepada kehendak Allah dalam hidup kita. Setiap perempuan ingin bertemu dengan "laki-laki idaman"nya, tetapi kenyataannya adalah bahwa dia mungkin akan menikah dengan seorang laki-laki dengan kekurangan yang sebanyak dia sendiri miliki. Kemudian, oleh anugerah Allah, mereka akan mempergunakan sisa hidup mereka bersama-sama mempelajari bagaimana menjadi seorang pasangan untuk, dan pelayan dari, satu sama lain. Kita harus masuk ke dalam hubungan terpenting kedua dari kehidupan kita (pernikahan), bukan dipengaruhi oleh emosi, tetapi dengan mata terbuka lebar. Hubungan kita yang paling penting yaitu dengan Tuhan dan Juruselamat kita, harus menjadi fokus dari hidup kita.
Seberapa mudakah adalah "terlalu muda" untuk memulai suatu hubungan tergantung kepada tingkat kedewasaan orang itu, tujuan, dan keyakinannya. Sering kali, semakin muda kita, semakin kurang dewasa kita karena kurangnya pengalaman. Ketika kita baru mulai memahami siapa kita, kita mungkin belum memiliki dasar yang kuat untuk membentuk hubungan romantis yang kokoh secara rohani dan akan lebih cenderung membuat keputusan-keputusan yang tidak bijaksana yang dapat menyebabkan kerusakan secara emosi, fisik, psikologi, dan rohani dalam diri kita.
Berada dalam suatu hubungan menempatkan kita dalam cobaan yang hampir konstan, khususnya pada saat emosi mulai berkembang dan ketertarikan kepada orang lain mulai mendalam. Anak remaja yang muda"bahkan remaja yang lebih tua"dikelilingi oleh tekanan hormon dan masyarakat yang kelihatannya hampir tidak tertanggungkan. Tiap hari membawa perasaan-perasaan baru"keraguan, ketakutan, dan kebingungan dirangkaikan dengan sukacita dan kegembiraan"yang mana dapat sangat membingungkan. Orang muda mempergunakan banyak waktu mereka hanya untuk mengerti siapa mereka dan bagaimana mereka berhubungan dengan dunia dan orang sekitar mereka. Menambah tekanan karena hubungan pada tahap ini mungkin terlalu berat, khususnya ketika orang lain itu juga sedang mengalami gejolak yang sama. Hubungan yang terlalu dini menjadikan lebih sulit untuk menghindari kerusakan kepada identitas diri yang masih rapuh dan sementara terbentuk, belum lagi soal menghadapi pencobaan. Jika belum bermaksud untuk menikah, mungkin terlalu dini untuk memulai pacaran. Jauh lebih aman adalah kegiatan kelompok di mana orang-orang muda dapat mengembangkan keterampilan sosial dan persahabatan tanpa tekanan dan masalah-masalah yang merupakan bagian dari hubungan romantis.
Tidak peduli kapan seorang memutuskan untuk memulai suatu hubungan romantis, ini harus menjadi suatu waktu untuk membangun di atas fondasi iman yang sudah diajarkan, untuk bertumbuh dan memahami apa yang Allah ingin dia lakukan. Kita tidak pernah terlalu muda untuk memulai proses yang menarik ini. "Jangan seorangpun menganggap engkau rendah karena engkau muda. Jadilah teladan bagi orang-orang percaya, dalam perkataanmu, dalam tingkah lakumu, dalam kasihmu, dalam kesetiaanmu dan dalam kesucianmu" (1 Timotius 4:12).
Waktu yang tepat untuk pernikahan adalah berbeda untuk setiap orang dan unik untuk tiap situasi. Tingkat kedewasaan dan pengalaman hidup adalah faktor-faktor yang membedakan; ada orang siap untuk menikah pada umur 18, dan ada yang tidak pernah siap untuk itu. Dengan tingkat perceraian di Amerika yang melampaui 50 persen, jelaslah bahwa kebanyakan masyarakat kita tidak memandang pernikahan sebagai komitmen untuk selamanya. Akan tetapi, ini adalah pandangan dunia, yang biasanya bertentangan dengan pandangan Allah (1 Korintus 3:18).
Suatu fondasi yang kuat adalah sangat penting untuk pernikahan yang sukses dan harus dibereskan bahkan sebelum mulai berpacaran atau mengejar seseorang yang bisa menjadi pasangan hidup. Perjalanan kekristenan kita harus lebih daripada sekedar mengikuti kebaktian pada hari Minggu dan terlibat di dalam kelompok Pemahaman Alkitab. Kita harus memiliki hubungan secara pribadi dengan Allah yang hanya bisa terjadi melalui percaya dan menaati Yesus Kristus. Kita harus mempelajari tentang pernikahan, mencari pandangan Allah dalam hal itu, sebelum terjun ke dalamnya. Seseorang harus mengetahui apa yang Alkitab katakan tentang kasih, komitmen, hubungan seks, peranan seorang suami dan isteri, dan pengharapan-pengharapan-Nya untuk kita sebelum memasuki pernikahan. Adalah juga penting untuk memiliki paling tidak sepasang suami isteri Kristen sebagai panutan. Pasangan suami isteri yang lebih tua dapat menjawab pertanyaan-pertanyaan tentang apa-apa yang perlu untuk pernikahan yang berhasil, bagaimana menciptakan keintiman (melampaui fisik), bagaimana iman adalah tak ternilai, dll.
Sepasang calon yang mau menikah juga perlu memastikan bahwa mereka mengenal dengan baik satu sama lain. Mereka harus mengenal pandangan masing-masing tentang pernikahan, keuangan, sanak saudara isteri atau suami, mendidik anak, disiplin, kewajiban suami dan isteri, apakah hanya salah satu dari mereka yang bekerja di luar rumah, dan mereka harus mengenal tingkat kedewasaan rohani dari pasangannya. Banyak orang menikah berdasarkan perkataan pasangan mereka bahwa mereka adalah orang Kristen, di mana kemudian mereka menemukan bahwa itu ternyata hanya di mulut saja. Setiap pasangan yang mempertimbangkan pernikahan harus menjalani konseling dengan konselor pernikahan Kristen atau pendeta. Bahkan, banyak pendeta yang tidak mau memimpin upacara pernikahan kecuali jika mereka telah bertemu beberapa kali untuk konseling dengan pasangan yang mau menikah.
Pernikahan bukan hanya suatu komitmen, tetapi suatu perjanjian dengan Allah. Itu adalah janji untuk tetap bersama dengan orang lain itu untuk sisa hidupmu, tidak peduli apakah pasanganmu itu kaya, miskin, sehat, sakit, gemuk, kurus, atau membosankan. Pernikahan Kristen harus bertahan melewati setiap keadaan, termasuk pertengkaran, kemarahan, kehancuran, malapetaka, depresi, kepahitan, kecanduan, dan kesepian. Pernikahan seharusnya tidak pernah dimasuki dengan pikiran bahwa perceraian adalah suatu pilihan"bahkan bukan sebagai jalan terakhir. Alkitab memberitahu kita bahwa melalui Allah segala perkara adalah mungkin (Lukas 18:27), dan sudah tentu ini termasuk pernikahan. Jika pasangan mengambil keputusan pada awalnya untuk tetap setia dan menomorsatukan Allah, perceraian tidak akan menjadi solusi yang tidak mungkin dihindarkan dalam situasi yang menyedihkan.
Adalah penting untuk mengingat bahwa Allah ingin memberi kita keinginan hati kita, tetapi hal itu hanya mungkin akan terjadi jika keinginan kita sesuai dengan kehendak-Nya. Orang sering kali menikah karena hal itu "terasa benar." Pada tahap pertama pacaran, dan bahkan pernikahan, Anda melihat orang lain itu datang, dan Anda merasakan getaran. Kemesraan sementara memuncak, dan Anda tahu bagaimana rasanya "jatuh cinta." Banyak orang mengharapkan bahwa perasaan ini akan tinggal selama-lamanya. Kenyataannya tidak demikian. Hasilnya mungkin adalah kekecewaan dan bahkan perceraian seiring dengan pudarnya perasaan itu, tetapi mereka yang berhasil dalam pernikahan mengetahui bahwa kegairahan untuk bersama-sama dengan orang lain itu tidak harus berakhir. Malahan getaran akan menjadi cinta yang lebih dalam, komitmen yang lebih kuat, fondasi yang lebih kokoh, dan keamanan yang tidak dapat dihancurkan.
Alkitab jelas bahwa cinta tidak tergantung kepada perasaan. Hal ini jelas ketika kita diberitahu untuk mengasihi musuh-musuh kita (Lukas 6:35). Cinta yang sejati adalah mungkin ketika kita mengizinkan Roh Kudus untuk bekerja melalui kita, mengusahakan buah keselamatan kita (Galatia 5:22-23). Itu adalah keputusan yang kita ambil setiap hari secara rutin untuk mati bagi kita dan egoisme kita, dan untuk membiarkan Allah bersinar melalui kita. Paulus memberitahu kita bagaimana mengasihi orang lain dalam 1 Korintus 13:4-7: Kasih itu sabar; kasih itu murah hati; ia tidak cemburu. Ia tidak memegahkan diri dan tidak sombong. Ia tidak melakukan yang tidak sopan dan tidak mencari keuntungan diri sendiri. Ia tidak pemarah dan tidak menyimpan kesalahan orang lain. Ia tidak bersukacita karena ketidakadilan, tetapi karena kebenaran. Ia menutupi segala sesuatu, percaya segala sesuatu, mengharapkan segala sesuatu, sabar menanggung segala sesuatu." Ketika kita siap untuk mengasihi orang lain seperti yang digambarkan dalam 1 Korintus 13:4-7, itulah waktu yang tepat untuk pernikahan.
Alkitab tidak menunjukkan bagaimana menemukan "pasangan yang sempurna," juga tidak sedetil yang kita harapkan tentang hal menemukan pasangan pernikahan yang tepat. Satu hal yang Firman Allah secara tegas memberitahu kita adalah untuk memastikan bahwa kita tidak menikah dengan orang yang tidak percaya (2 Korintus 6:14-15). 1 Korintus 7:39 mengingatkan kita bahwa, sementara kita bebas menikah, kita harus menikah hanya dengan orang yang bisa diterima oleh Allah"dengan kata lain, orang Kristen. Selebihnya, Alkitab tidak mengatakan apa-apa tentang bagaimana mengetahui bahwa kita menikah dengan orang yang "tepat".
Jadi mengapa Allah tidak menerangkan dengan jelas apa yang kita harus cari pada pasangan kita? Mengapa kita tidak mendapat penjelasan yang lebih detil tentang masalah yang begitu penting ini? Kenyataannya adalah bahwa Alkitab sangat jelas mengenai siapa itu orang Kristen dan tentang bagaimana kita harus bersikap, sehingga detil tidak diperlukan. Orang Kristen harus sepaham dalam hal-hal yang penting, dan kalau dua orang Kristen mempunyai komitmen untuk pernikahan mereka dan untuk menaati Kristus, mereka telah memiliki bahan-bahan yang perlu untuk berhasil. Namun demikian, karena masyarakat kita dibanjiri dengan banyak orang yang mengaku Kristen, maka adalah bijaksana untuk memikirkan dengan baik sebelum mengabdikan diri kepada komitmen pernikahan seumur hidup. Begitu prioritas calon pasangan sudah ada"apakah dia sungguh-sungguh memiliki komitmen untuk keserupaan Kristus"maka hal-hal yang detil mudah dikenali dan mudah untuk dihadapi.
Pertama-tama, kita harus memastikan bahwa kita siap untuk menikah. Kita harus cukup dewasa untuk bisa melihat melampaui saat sekarang ini dan mampu untuk mengabdikan diri kita untuk bersatu dengan satu orang ini untuk sisa hidup kita. Kita juga harus mengenali bahwa pernikahan menuntut pengorbanan dan sikap tidak egois. Sebelum menikah, pasangan harus mempelajari peranan dan kewajiban dari seorang suami dan istri (Efesus 5:22-31; 1 Korintus 7:1-16; Kolose 3:18-19; Titus 2:1-5; 1 Petrus 3:1-7).
Pasangan harus memastikan mereka mengenal satu sama lain untuk jangka waktu yang cukup sebelum mendiskusikan pernikahan. Mereka harus memperhatikan bagaimana orang lain itu bereaksi dalam situasi yang berbeda-beda, bagaimana dia bersikap di sekitar keluarganya dan teman-temannya, dan dengan orang macam apakah dia melewatkan waktunya. Kelakuan seseorang sangat dipengaruhi oleh pergaulannya (1 Korintus 15:33). Mereka harus sepakat untuk hal-hal seperti moralitas, keuangan, nilai-nilai, anak-anak, kehadiran dan keterlibatan di gereja, hubungan dengan besan, dan pekerjaan. Semua ini adalah wilayah-wilayah yang berpotensi untuk menyebabkan konflik dalam pernikahan dan harus dipertimbangkan dengan hati-hati terlebih dahulu.
Akhirnya, pasangan manapun yang mempertimbangkan untuk menikah harus terlebih dahulu mengikuti konseling pranikah dengan pendeta mereka atau konselor Kristen yang terlatih. Di sini mereka akan mempelajari alat-alat yang bernilai untuk membangun pernikahan mereka pada dasar iman di dalam Kristus, dan mereka juga akan belajar bagaimana menghadapi konflik-konflik yang tidak terhindarkan. Setelah semua kriteria ini dipenuhi, pasangan siap untuk memutuskan apakah mereka ingin menikah. Jika mereka sungguh-sungguh mencari kehendak Allah, Dia akan mengarahkan jalan kita (Amsal 3:5-6).